Rabu, 30 Maret 2011

Ketauladanan Guru


MENGINTIP JEJAK  KETAULADANAN GURU

By : H. Lukman Nur Hakim, S.Pd., S.Psi.

Ketika ada ungkapan “ guru kencing berdiri murid kencing berlari”,  maka benar adanya bahwa contoh yang dilihat oleh anak akan dilakukan dengan yang sama atau bahkan lebih buruk dari itu. Pemeo ini sangat kental didengar. Fenomena sosok seorang guru yang hampir tidak terpisahkan antara pribadi dan profesionalisme tugas yang diemban. Dekade sekarang ini ada persoalan krisis ketauladanan yang dialami oleh anak-anak, baik ketauladanan para orang tua, guru dan teman sebaya. Persoalan semacam ini muncul dalam diskusi siswa dan pembicaraan orang tua. Disadari maupun tidak perkembangan pergaulan yang sekarang  dilakukan oleh anak-anak di lingkungan teman bermainnya sangatlah merisaukan  orang tua.
Masa anak-anak  merupakan masa bermain, masa dalam buaian kedua orang tuanya, dan pada saat ia berada pada usia belajar, hendaknya orang tua mempunyai suatu metode untuk memperbaiki, meluruskan kepincangan, dan mendidik budi pekerti, sehingga anak dapat tumbuh kembang dengan landasan pola pikir yang cerdas  dan mempunyai nilai-nilai adab sosial yang tinggi.
Seorang pendidik mempunyai metode  dan cara yang spesifik untuk memperbaiki dan mengajar anak. Jika memang cukup dengan nasehat yang lemah lembut, maka seorang guru tidak  beralih ke cara lain dengan meningggalkan dan memboikotnya. Demikian pula jika memang sudah cukup dengan cara pemboikotannya, maka tidaklah beralih ke cara lain, yakni dengan mencubitnya. Metode guru yang menggunakan kasih sayang dalam mengajar sangat arif menjadi pilihan. Sehingga guru disukai dan dicintai oleh anak-anak.

Fase Perkembangan Anak
Kalau kita tengok masa pendidikan pada anak dan dalam proses perkembangannya  terbagi dalam 4 (empat) fese.
Fase pertama, anak usia 7- 10 tahun, disebut masa tamyiz (masa Prapubertas). Pada usia ini anak mulai belajar di tinggkat SD. Pada saat inilah guru mengajarkan tentang etika (baik dan jelek),  meminta ijin ketika hendak pergi dari rumah atau main ke rumah teman dan melihat sesuatu yang ada di sekelilingnya mana yang harus ditiru dan tidak. Masa ini juga bisa disebut dengan masa modeling.
Modeling (Meniru) merupakan masa perkembangan pada anak-anak yang harus diperhatikan, bila anak dalam masa modeling itu akan mencari figur para  tokoh-tokoh kartun, tentu anak akan diarahkan pada gaya-gaya yang dilakukan dalam film kartun yang ia tonton setiap hari. Ataukah  anak akan meniru kehidupan artis yang  memamerkan gaya hidupnya, atau anak akan mencari figur kedua orang tuanya. Disinilah peran semua elemen masyarakat dibutuhkan untuk saling menjaga lingkungan dari patologi sosial demi mewujudkan masyarakat madani.
Fase kedua disebut dengan fase murahaqah (masa peralihan atau pubertas), anak usia 10 – 14 tahun, usia anak belajar di SD dan SMP. Pada masa  pubertas awal ini,  seorang guru biasanya akan memberikan  pendidikan  tentang seks, dimana anak-anak jangan sampai masuk dalam jurang kemaksiatan yang nanti akan merusak cita-cita yang dibangun sejak kecil. Bahaya AIDS dan penyakit-penyakit lainnya yang akan menghancurkan masa depannya. Kelainan-kelainan seks yang harus diketahui oleh seorang anak sehingga anak tidak masuk dalam kelompok pergaulan bebas (mkasudnya : remaja penganut seks bebas)
Pada masa ini pula anak rentan  dengan  NARKOBA, anak mulai belajar merokok dan mencoba meminum-minuman keras. Sungguh sangat berat sekali beban seorang guru, ketika  mengarahkan anaknya supaya tidak merokok dalam sekolah dan di luar sekolah, tetapi di lingkungan anak-anak bermaian sudah terbentuk lingkungan nikotin (pecandu rokok), lingkungan yang melegalkan  merokok dimana-mana. Apalagi seorang guru yang menjadi penganut aliran faham kretek dan filter,  disatu sisi Guru mengarahkan siswa tidak boleh merokok dalam sekolah. Ia malah enak-enakan merokok di dalam ruangan guru, lalu yang menjadi pertanyaan, bisakah dunia ini sehari tanpa asap rokok …………….???? !!!!!!!!!!!!!!!!!.
Fase  ketiga, usia 14-16 masa siswa di SMA. Pada masa ini disebut juga masa Baligh (masa adolesen),  kebiasaan pada saat usia anak di SMA ada bebarapa perubahan yang harus dipelajari ataupun anak harus tahu. Persoalan yang petama adalah belajar penyesuain diri di lingkungan yang baru. Seorang guru akan selalu mengarahkan anak didiknya, jangan sampai anak terlalu lama dalam proses belajar penyesuai diri.anak selalu diingatkan, ada masa-masa penyesuaian ada pula masa pembelajaran akademik. Bila siswa dalam penyesuaian diri mengalami keterlambatan, maka dalam proses pembelajaran siswa juga akan  mengalami masalah dalam bidang akademiknya.
Menanamkan kepercayaan diri pada anak yang baru masuk dalam bangku SMA, perlu adanya perhatian yang ekstra pula, apalagi siswa yang jarak sekolah dengan rumahnya cukup jauh, tentu akan menelan waktu yang cukup lama dalam proses belajar penyesuain diri dengan lingkungan yang baru.. Perbedaan  kondisi lingkungan yang baru, teman baru, membutuhkan anak untuk memahami lingkungan yang baru pula.
Masa SMA sering dikatakan oleh  anak-anak masa yang paling menyenangkan. Dimana masa ini kebanyakan anak-anak mulai mengenal teman lawan jenisnya, tetapi bila  pergaulan mereka tidak dibatasi oleh norma agama dan adat maka kebayakan dari mereka tidak bisa menamatkan  sekolahnya (drop out).  Kalau kita lihat pula ada  beberapa sekolah yang siswanya tidak bisa menamatkan sekolah, karena dalam dirinya bernyawa dua, dan tidak bisa konsentrasi di kelas disebabkan  rasa mual yang dialaminya setiap hari, sehingga masa remajanya Suul Khotimah (berakhir dengan tidak baik).
Fase yang ke-empat adalah masa pemuda,  pendidikan yang sangat penting pada masa ini adalah pembelajaran tentang isti’faf  (menjaga diri dari perbuatan tercela),  jika belum mampu melangsungkan pernikahan. Faktor terpenting  dalam mejaga  perbauatan tercela adalah menahan penglihatan, yang merupakan gejolak awal timbulnya syahwat pada manusia, bila  dalam dirinya bisa menjaga dari penglihatan, tentu akan bisa mempertahankan diri dari perbuatan tercela.
Seorang guru yang juga manusia biasa, kadang  kala bisa lupa untuk membedakan antara anak didiknya  dengan gadis yang bukan muridnya. Gaya siswa sekarang hanya menjadi siswa di sekolah, setelah pulang perubahan langsung nampak pada dirinya, pakaian kebesaran sebagai seorang pelajar langsung berubah menjadi gadis yang memamerkan lika-liku bodi tubuhnya yang mungil. Tetapi seorang guru  yang setiap hari melihat kecantikan para muridnya di depan kelas, akan mengatakan  ini merupakan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia yang cantik. Sungguh beban  sangat berat bagi seorang guru laki-laki yang diperlihatkan gadis-gadis cantik muridnya di depan kelas.

Mengenalkan Emosi Anak

Guru merupakan tempat  pertama dalam hati anak setelah kedua orang tua yang mengenalkan belajar, baik belajar komunikasi dan berlatih penyesuaian diri. Seorang guru yang terus melatih anak dalam menghadapi tantangan untuk mencari kesempurnaan sering dihantui dengan kegagalan dan ketakutan dan tidak mampu menjalaninya. Melatih anak  untuk belajar mengulang-ulang yang sering gagal merupakan awal anak diajarkan untuk berani gagal dan mengulang kembali. Ketika anak dibiarkan duduk dalam kursinya saja, bengong tidak bersemangat dan gembira karena kecapaian ataupun sedang marah yang terbawa dari di rumah sisa dari proses pembelajaran yang membekar dari sang guru. Sentuhan guru bisa membangkitkan keceriahan dan semangat belajar.
Melatih emosional pada anak dibutuhkan bimbingan yang intensif, jika orang tua mendidik anaknya sendiri tanpa sentuhan, bantuan kata, dan motivasi dari guru tentu sangat sulit, kebiasaan mendidik yang dilakukan orang tua kepada anaknya sering mengedepankan perasaan dan emosional, yang berakhir dengan kemarahan (anak menangis).  Sentuhan guru dan kata-kata manis  yang keluar dari mulutnya biasanya akan menghipnotis anak, sehingga guru bisa menjadi idolanya. Terbukti nasehat guru akan lebih ditaati dari pada orang tuanya.

 

Ketauladanan Guru

Krisis  ketauladanan  yang terjadi pada anak perlu secepat mungkin diatasi. Ketika anak dalam proses menuju dewasa tidak ada yang menjadi tauladan bagi hidupnya, maka ia akan hampa dan rasa putus asa serta tidak bersemangat dalam menjalankan aktivitas kesehariaannya.
Bila kita lihat, menu  acara yang dilakukan anak, kebiasaan dalam dirinya sering disibukan dengan permaianan-permaianan yang kurang melatih psikomotoriknya. Anak akan lebih suka dengan permainan buatan Cina dan Jepang daripada mainan yang dibuat oleh  orang tuannya yang berasal dari  bahan-bahan yang sudah tidak terpakai. Padahal permaianan yang dibuat oleh orang tuanya akan melatih kreativiatas dan emosional pada anak.
Peran guru yang akan menjadi figur ketauladanan anak kadangkala sukses dalam mengahantarkan anak orang lain dan gagal dalam menghantarkan  anaknya sendiri menuju prestasi, karena biaya pendidikan yang melambung tinggi. Di sisi lain guru yang menjadi tauladan anak, disibukan dengan tugas-tugas keluarga yang kian hari terus mencekik lehernya, dengan segudang tanggungan yang harus dia pikul, sedangkan tuntutan ketauladanan harus ia wujudkan dalam kehidupan sekolah, rumah dan  masyarakat.
Ketika guru sedang menangis, menjerit oleh permintaan proposal peralatan dapur serta isinya oleh istri yang selalu mencuci baju PSH-nya. Kegelisahan dan kepenatan terkadang terbawa dalam dirinya dan sering menyatu ketika sedang mengajar. Tetapi dalam prinsip mengajar bukanlah “Berlomba Mencari Nafkah Melainkan Mencari Ketauladanan”.  Semangat  cita-cita dalam mengentaskan kebodohan sebagai prinsip hidup dan semboyan seorang guru.
Pahlawan yang banyak jasanya, akan selalu di ingat oleh semua siswa dan akhir dari hidupnya akan selamanya terkenang sebagai pejuang pencerdas bangsa.


Kamis, 24 Maret 2011

POST POWER SINDROME


POST-POWER SINDROME
 Lukman Nur Hakim

Bekerja adalah suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan hidup. Bekerja juga merupakan rangkaian ibadah untuk mengabdi kepada Tuhan. Bekerja dengan dilandasi skill maka akan menemukan banyak kemudahan. Bekerja dengan rasa kecintaan pada bidang yang digelutinya akan mendatangkan kesuksesan dan kenyamanan sehingga orang dengan mudah dipromosikan, memiliki komunikasi sosial yang terbuka, dan mendapatkan kedudukan di tengah masyarakat. Tetapi dengan bekerja dapat pula membawa pada masalah besar ketika terjadi pemberhentian di tengah-tengah kenikmatan bekerja. Sedangkan tidak bekerja karena pensiun, tidak menjabat lagi pada umumnya ditanggapi oleh banyak orang dengan perasaan  negatif dan cenderung secara mental belum siap menerima perubahan itu. Mereka benar-benar mengalami shock (kejutan mental hebat) karena dianggap sebagai kejadian  yang merugikan, menimbulkan aib/kenistaan, dan dianggap sebagai hal yang memalukan yang dapat mengakibatkan degradasi sosial. Realita di lapangan menunjukkan bahwa orang-orang yang dikenakan PHK ataupun para pensiunan cenderung mengalami penyakit mental yang akhirnya berdampak pada psikis mereka.

Di sisi lain, menganggur dapat menimbulkan perasaan-perasaan   inferior   (minder, rendah   diri),   rasa   tidak berguna, tidak dipakai lagi, dan tidak dibutuhkan; juga menimbulkan banyak frustrasi. Bagi orang-orang yang sudah pensiun (mantan pegawai, purnawirawan) yang sudah dirumahkan, segala fasilitas jabatan, kemudahan birokrasi, pujian,  serta kemewahan yang biasa diterima sewaktu masih menjabat dahulu semuanya sudah habis. Perasaan kehilangan semua fasilitas dan keenakan yang pernah didapatkan dirasakan sebagai beban mental yang berat membebani psikis. Secara umum orang belum bisa menerima perubahan dari yang dulu menjadi (pejabat yang disegani) dan sekarang tidak menjadi (bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa).

Manusia yang bermental lemah dan belum siap secara psikis menghadapi masa pensiun akan mengalami pukulan batin apalagi apabila terjadi pencopotan jabatan yang tidak terhormat maka akan tercabik-cabiklah mentalnya di seluruh masa hidupnya. Pada awalnya bermunculanlah gejala psikis seperti perasaan sedih, takut, cemas. rasa inferior/rendah diri, tidak berguna, putus asa, bingung, yang semuanya jelas mengganggu fungsi-fungsi kejiwaan dan organiknya. Maka tidak lama kemudian semua simptom itu akan berkembang menjadi satu kumpulan penyakit dan kerusakan-kerusakan fungsional. Orang tersebut akan mengalami sakit secara berkepanjangan dengan macam-macam komplikasi;   yaitu  menderita   penyakit   post-power   syndrome (sindrom purna-kuasa atau sindrom pensiun).

Siapa pun harus mengenali penyakit mental ini agar kita bisa menghindarinya. Syndrome/sindrom adalah sekumpulan kompleks gejala penyakit (symptoms) yang saling berkaitan berupa reaksi somatis (tubuh) dalam bentuk tanda-tanda penyakit, luka-luka, atau kerusakan-kerusakan. Post-Power Syndrome adalah reaksi somati­sasi dalam bentuk sekumpulan simptom penyakit, luka-luka, dan kerusakan-kerusakan fungsi-fungsi jasmani dan mental yang progresif, karena orang yang bersangkutan sudah tidak bekerja pensiun. tidak menjabat, atau tidak berkuasa lagi. Simptom-simptom penyakit ini pada intinya disebabkan oleh banyaknya stress (ketegangan, tekanan batin), rasa kekecewaan, kecemasan dan ketakutan, yang mengganggu fungsi-fungsi organik dan psikis, sehingga mengakibatkan macam-macam penyakit, luka-luka dan kerusakan yang progresif (terus berkembang/meluas). Sindrom purna kuasa tersebut banyak diidap oleh para pensiunan,  Kemudian mereka tidak mampu melakukan adaptasi yang sehat terhadap tuntutan kondisi hidup baru.

Gejala psikis dan fisik yang sering tampil antara lain ialah: layu, sayu, lemas, apatis, depresif, semuanya "serba-  salah"; tidak pernah merasa puas, dan berputus asa. Atau tanda-tanda sebaliknya, yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, agresif, dan suka menyerang baik dengan kata-kata atau ucapan-ucapan maupun dengan benda-benda, dan lain-lain. Bahkan tidak jarang menjadi beringas, setengah sadar. Kondisi   psikis sedemikian ini jika tidak bisa dikendalikan oleh si pelaku sendiri, bahkan juga tidak bisa diperingan dengan bantuan medis dan psikiatris, maka menjadi semakin gawat, dan pasti akan memperpendek umur penderitanya.

Perasaan-perasaan negatif. terutama keengganan me­nerima situasi baru dengan kebesaran jiwa, pasti menimbul-kan banyak stress, keresahan batin, konflik-konflik jiwani, ketakutan. kecemasan, rasa inferior, apatis, melankholis dan depresi, serta macam-macam ketidakpuasan lainnya. Jika semua itu berlangsung berlarut-larut, kronis berkepanjangan. maka jelas akan menyebabkan proses dementia (kemunduran mental) yang pesat. dengan menyandang kerusakan-kerusakan pada fungsi-fungsi organis (alat/ bagian tubuh) dan fungsi-fungsi kejiwaan yang saling berkaitan. dan kita kenal sebagai gejala post-power syndrome.

Tentunya bagi mental sakit ini telah ada solusinya. Namun terkadang manusia tidak menyadarinya ketika dia masih asyik masyuk bekerja. Persiapan mental untuk dapat menerima apapun yang akan terjadi merupakan cara merawat mental agar tetap sehat. Islam telah  mengajarkan dan mengingatkan manusia tentang takdir ”Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Qomar 49). Sayid Sabiq mengartikan takdir adalah suatu peraturan yang telah dibuat oleh Allah SWT  untuk segala yang ada  di alam semesta ini. Imam Nawami menambahkan takdir itu sendiri telah ditulis sejak sebelum manusia dilahirkan. Allah mengetahui apa saja yang akan terjadi sesuai dengan waktu yang telah ditetap atau digariskan-Nya. Dalam falsafah Jawa ”nrima ing pandum” akan membuat manusia menjadi nyaman dan tidak mudah putus asa.

Mengatasi Post-Power Syndrome

Terapi untuk meringankan gejala-gejala sindrom pensiun dan untuk memperoleh kembali kesehatan jasmani serta kesejahteraan jiwa mengarah pada integrasi struktur kepribadian, menurut Kartini Kartono (2000) dalam bukunya  Hygiene Mental disarankan  melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

(1) Mau menerima semua kondisi baru. yaitu masa pensiun/ purnakarya tersebut dengan perasaan rela, ikhlas, lega, bahagia, karena semua tugas-tugas pokok selaku manusia dan pejabat sudah selesai. Maka kini tiba saatnya pribadi yang bersangkutan belajar menyesuaikan diri lebih baik lagi terhadap tuntutan situasi-kondisi baru yang masih penuh tantangan, yang harus dijawab dan dijalani.

(2) Masa purnakarya ini diantisipasikan sebagai pengalaman baru, atau sebagai satu periode hidup baru, yang mungkin masih akan memberikan kesan-kesan indah dan menakjubkan di masa mendatang. Pribadi yang bersangkutan harus bisa menerima, bahwa masa lampau memang sudah lewat, dan harus dilupakan atau dilepaskan dengan perasaan tulus ikhlas. Dan tidak mengharapkan pengulangan kembali pengalaman lama dengan rasa kerinduan mitis (mitos) atau secara sentimentil.

(3) Segala kebahagiaan, dan puncak kehidupan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, juga semua ujian dan derita-nestapa sudah dilalui dengan hati pasrah. Namun perjalanan hidup seterusnya masih harus dilanjutkan dengan ketabahan dan rasa tawakal. Sebab pada masa usia tua ini masih saja ada misi-misi hidup yang harus diselesaikan sampai tuntas; di samping harus memberikan kebaikan dan kecintaan kepada lingkungan sekitar.  

(4) Peristiwa kepurnakaryaan supaya diterima dengan kemantapan hati sebagai anugerah Ilahi, dan sebagai kebahagiaan yang diberikan oleh lingkungan masyarakat manusia sebagai edisi hidup baru yang harus diisi dengan darmabakti dan kebaikan. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh para mantan pada sisa hidupnya yang sudah "senja". Tetapi setidak-tidaknya seperti keindahan panorama senja yang masih memberikan kecemerlangan mistis yang gilang-gemilang, memberikan kebaikan kepada anak-cucu, generasi penerus serta masyarakat pada umumnya.  

(5) Sebaiknya  tidak melakukan pembandingan dengan siapa atau apapun juga; sebab usaha sedemikian itu akan sia-sia, dan menjadikan hatinya "nelangsa", serta meratap sedih, ngresula/kecewa. Ada kalanya bisa memacu diri-nya untuk berbuat "ngaya" di luar batas kemampuan sendiri dan tidak wajar. Setiap relasi sosial yang baru di masa sekarang, sudah tidak lagi dibebani oleh ikatan dan kekecewaan macam apapun. Hidup ini dihadapi dengan hati tulus, polos, sabar, narima, jernih.

(6) Membebaskan diri dari nafsu-nafsu, ambisi-ambisi, keinginan berkuasaan atau nafsu untuk memiliki. Apa yang didambakan dalam sisa hidup sekarang ialah: tenang, damai dan sejuk di hati. Kalbunya sudah mantap, tidak terbelah oleh macam-macam kontradiksi, ambisi, dan fikiran khayali. Sebab sekarang sudah menjadi pribadi yang mampu menyambut akhir hayat dengan senyum dan kemantapan.

Bagi jiwa-jiwa yang menerima, maka segala apa pun yang kan terjadi di depannya akan mampu dihadapi dengan besar hati. Karena dari setiap kejadian pasti ada hikmah yang menyertainya. Setiap kita hendaknya sadar bahwa dimensi kesehatan bukan hanya jasmaniah saja, tetapi rohani (mentalitas) juga memegang peranan penting (important role) dalam menentukan kesehatan seseorang. Awali segala sesuatu dengan pikiran positif (positive thingking/huznudzon) sehingga mental-mental positif dalam diri kita akan tumbuh dengan subur. Mari kita wujudkan cita-cita Indonesia Sehat dimulai dari diri kita masing-masing, keluarga dan lingkungan sekitar kita.

Staff Pengajar UPS
Ketua Lakpesdam NU Brebes