Jumat, 03 Mei 2013

Psikologi Kepemimpinan
Oleh: Lukman Nur Hakim*

Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya, seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. (HR Bukhari)
Sungguh sangat berat beban seorang pemimpin (penguasa). Namun ironisnya, banyak orang ingin menjadi pemimpin, dari level yang paling bawah sampai level yang menasional. Apakah ada hubungannya dengan faktor kepuasan ketika bisa menjadi seorang pemimpin, atau karena ketika menjadi pemimpin banyak kesempatan untuk memuluskan jalan meraih hal-hal yang diinginkan, atau mungkin pula menjadi pemimpin merupakan sebuah kehormatan bagi dirinya?.
Dengan tidak menyadari konsekuensi seorang pemimpin, karir dikejar dan dianggap hal yang penting untuk diperebutkan. Padahal apabila kita sadar akan beban yang mesti ditanggung, mungkin banyak orang yang menolak menjadi “pemimpin”. Rendahnya keyakinan dan tanggung jawab kepada Tuhan, terkikisnya rasa malu dalam diri membuat banyak orang berlomba untuk menuju kepada label “pemimpin”.
Perlu dicatat, dalam meraih kepemimpinan. Seyogyanya seorang pemimpin memiliki sifat taqwa, cakap, jujur, tegas, berani, berilmu, disiplin, bijaksana, bersemangat, percaya diri, adil, dan komunikatif. Dia harus mampu melakukan perencanaan, membuat keputusan dan kontrol yang baik, memiliki tanggungjawab, perbuatannya sesuai dengan perkataannya, dan mendahulakan kepentingan orang banyak di samping kepentingan pribadi serta seorang pemimpin juga harus memiliki wawasan situasional.
Pada situasi yang berbeda selayaknya dihadapi dengan sikap serta gaya bertindak yang berbeda pula. Seorang pemimpin harus mampu membaca siapa yang dihadapinya, memahami kondisi psikologis pengikutnya, mampu membaca keinginan yang diharapkan rakyatnya, mampu membaca kemampuan/daya tangkap dari lawan bicaranya dan segudang kemampuan lain yang berhubungan dengan humanisme. Dengan kemampuan ini, ia akan menjadi sosok pemimpin yang selalu dirindu dan dipuja karena mampu “memanusiakan manusia” (Jawa: ngewongna wong).
Begitu banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi apabila menginginkan menjadi sorang “pemimpin”. Ia juga sebaiknya memahami kebutuhan dan keinginan golongan atau masyarakat yang dipimpin karena kebijakan yang diambil tidak bisa lepas dari kepentingan rakyatnya. Merasakan derita apa yang dialaminya, bukan rakyat yang dijadikan korban untuk kepentingan ambisi pribadinya, apalagi sampai terjadi ada pemimpin (penguasa) yang mengolah anggaran negara/daerah untuk kolega dan keluarganya. Ia harus memahami posisi dirinya karena ia dipilih oleh rakyat dan untuk mengabdi kepada rakyat. Begitu pula masyarakat yang dipimpinnya, sebaiknya mampu menempatkan dirinya sebagai orang yang mematuhi pimpinannya. Sehingga keduanya memiliki hubungan yang harmonis dalam memajukan daerahnya.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah. Diperlukan
kerja sama, disiplin, dan komitmen yang menyeluruh, dan memiliki konsep diri yang kuat. Pemimpin sebaik apapun tidak akan berguna bila tidak didukung semua kalangan. Maka, setiap warga atau masyarakat hendaknya turut berkontribusi bagi sebuah kepemimpinan, paling tidak mereka mampu memimpin dirinya sendiri.
Sebagai ilustrasi, kita ambil ajaran Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pemimpin harus berada di depan bila ia memimpin komando dan menjadi teladan. Pemimpin juga harus bisa di tengah pengikutnya ketika ia ingin mendengarkan suara hati orang orang di bawah kepemimpinannya dan ikut merasakan apa yang dialami masyarakatnya. Terkadang pemimpin harus berada di belakang ketika masyarakat perlu dukungan dan dorongan. Berarti pemimpin adalah makhluk serba bisa. Untuk itu diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar karakter seorang pemimpin agar mampu mengemban kepemimpinan ke arah yang diharapkan semua pihak
Kalau kita perhatikan dan cermati bahwa kepemimpinan sendiri adalah proses mempengaruhi prilaku orang lain atau memberi contoh dari seorang pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan, bukan prilaku yang direkayasa atau mendapatkan simpatisan sesaat saja. Sebagaimana diungkap oleh Kartini Kartono, mengartikan pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Di beberapa kalangan masyarakat, masih ada kecenderungan mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah seorang yang memiliki sifat kharismatis. Sebagai contoh, beberapa sosok pemimpin karismatik, gambarnya banyak dipajang di rumah para pengagumnya, walaupun orang yang bersangkutan telah tiada. Hal ini menandakan sebagai perwujudan masih melekatnya pemimpin tersebut di hati para pengikutnya.
Max Weber, ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik, menegaskan bahwa kemampuan kepemimpinan kharismatis tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari Ilahi, atau suatu sifat yang khas dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak memiliki daya-daya istimewa.
Setidaknya apabila kita amati fenomena sekarang ini, berapa banyak pemimpin ataupun calon pemimpin yang memajang gambarnya di tepi-tepi jalan, di pohon, di depan rumah. Kalau mereka adalah seorang pemimpin yang kharismatis yang memiliki pengagum tersendiri maka dipajangnya gambar akan menambah semangat dan menumbuhkan simpati bagi para pengikut dan pengagumnya. Namun sebaliknya, bila seseorang yang tidak suka pada gambar poster yang dipasang, akan memunculkan emosi kemarahan, gambar yang dipasang akan dirusak dan dibuang.
Seyogyanya pemimpin bisa menjadi teladan bagi semua elemen yang dipimpinnya. Ia mampu menjadi pengayom dan memiliki empati yang tinggi kepada semua pengikutnya. Betapa perasaan senasib sepenangungan sebagai prinsip empati merupakan alat yang ampuh untuk menarik simpati. Siapa pun akan tersentuh bila pemimpin mengetahui penderitaan dari masyarakatnya, dia langsung membantu bukan sekedar basa basi, tetapi empati menjadi sifat dasar dari kepribadiannya.
Bangunan yang baik, kokoh dan indah tentunya tidak hanya terdiri dari satu elemen, tetapi terdiri dari berbagai elemen yang ada di dalamnya. Tentunya, penempatan dan penggunaan masing-masing elemen itulah yang sangat mempengaruhi bagaimana kualitas bangunan tersebut. Perumpamaan sederhana ini bisa kita gunakan untuk memahami tugas seorang pemimpin dalam menempatkan, memberdayakan mereka yang berada dalam kepemimpinannya
Semoga semua pimpinan kita, memahami posisi dirinya, memahami prinsip amanah, dan mengedepankan keilmuan dan amal sholeh dalam menjalankannya. Menyadari bahwa segala apa yang diperbuatnya di dunia, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa.

*Penulis adalah Dosen UPS
dan Pengurus Majlis Al-Khusaini Brebes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar